Sidang Otto Hasibuan Digugat Rp 110 Miliar Hadirkan Ahli Kode Etik Advokat

Sidang Otto Hasibuan Digugat Rp 110 Miliar Hadirkan Ahli Kode Etik Advokat

GUETILANG, JAKARTA - Sidang perkara gugatan Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Komputer Indonesia (Apkomindo) Soegiharto Santoso alias Hoky terhadap Rudy Dermawan Muliadi sebagai Tergugat I, Faaz Ismail sebagai Tergugat II, serta Kantor Hukum Otto Hasibuan sebagai Tergugat III senilai lebih dari Rp.100 Milyar di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terus berlanjut.

Sidang pada Rabu (22/2/2023) baru-baru ini menghadirkan Ahli Kode Etik Advokat, Sugeng Teguh Santoso, yang merupakan salah satu perumus dan penyusun Kode Etik Advokat Indonesia.

Sugeng yang kini menjadi petinggi di Dewan Pimpinan Pusat Persaudaraan Profesi Advokat Nusantara, saat dihadirkan penggugat sebagai saksi ahli, sempat dipertanyakan oleh kuasa hukum pihak tergugat Sordame Purba dan Donni Siagian terkait sertifikat sebagai ahli.

Namun dengan tegas Sugeng yang sudah empat kali menjadi saksi ahli menerangkan kepada Majelis Hakim yang dipimpin Panji Surono selaku hakim ketua, serta Yusuf Pranowo dan Kadarisman Al Riskandar selaku hakim anggota bahwa saat ini belum ada lembaga yang mengeluarkan sertifikat tentang keahlian kode etik advokat. 

"Saya ini ikut menyusun kode etik advokat saat pertama kali kode etik untuk advokat dibuat. Dan selama sepuluh tahun saya bertugas memproses pelanggaran kode etik terhadap advokat," tandas Sugeng.

Sugeng akhirnya diperkenankan majelis hakim dengan Edward Willy selaku panitera pengganti untuk memberikan keterangan sebagai ahli kode etik advokat.

Kepada majelis hakim Sugeng menjelaskan tentang imunitas Advokat yang bersyarat dan tidak mutlak. Dia mengatakan, merujuk pada pasal 2 kode etik Advokat, pasal 14 dan pasal 15 Undang-undang nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat, tindakan advokat tersebut harus taat pada norma perundang-undangan dan norma kode etik. 

"Apabila melanggar kode etik, tidak berlaku imunitas kepadanya, jadi bisa saja dilaporkan, karena dalam undang-undang juga disebutkan pelanggaran kode etik bisa masuk keranah pidana," tegas Sugeng.

Dia juga menyebutkan, jika ada pengacara yang bersalah dan bisa digugat perdata, tetapi pembuktiannya di majelis hakim. 

Seorang Advokat, menurut Sugeng, ketika menerima dokumen dari kliennya, harus memastikan dokumen itu benar. "Jadi ketika Advokat membuat legal memorandum, keterangan data fakta yang diterima pada akhirnya adalah keadanya tidak berubah seperti yang disampaikan adalah benar adanya," terang Sugeng yang juga aktivis pengawas kinerja Kepolisian. 

Lebih lanjut dikatakan, ketika Advokat mengajukan berkas ke persidangan (ternyata) bukti itu palsu, Advokat tidak dapat dipidana sepanjang data itu dari kliennya. "Tapi kalau Advokat yang merekayasa surat palsu, maka tangkap saja advokat tersebut, karena mencemarkan profesi Advokat," tandas Sugeng.

Dikatakan Sugeng, Advokat wajib membuat legal memorandum bahwa kata-fakta terdahulu itu benar, dan tidak boleh mengubah fakta, tidak boleh merekayasa fakta.

Yang menjadi kewajiban seorang Advokat, kata dia, adalah membela kepentingan kliennya, akan tetapi apabila merujuk pada satu peristiwa, merujuk pada satu momen yang satu, tetapi kemudian merumuskan dua fakta yang berbeda, dengan kantor hukum yang sama atau dengan advokat yang sama, ini juga menjadi tandatanya.

"Kalau saya dewan kehormatan saya dalami, ini ada apa?” ungkap Sugeng dalam persidangan.

Lebih lanjut Sugeng bertutur : “Kalau dia hanya menerima 1 kali, merumuskan 1 dokumen, katakanlah pengurus terpilihnya A, B, C, merujuk pada momen munaslub pada waktu tertentu, ini advokat merumuskan yang informasinya pengurusnya A, B, C, tetapi pada dokumen hukum lain dan pada momen yang sama, dia merumuskan, bukan A, B, C, tetapi bisa C, D, B pengurusnya, nah ini menjadi pertanyaan, apakah advokatnya tidak cermat, apakah advokatnya membuat fakta yang berbeda, atau dia lalai merumuskan, atau dia mendapat informasi baru lagi, dia harus membandingkan dengan dokumen hasil-hasil munaslub, kalau memang ada kecukupan alasan untuk merubah fakta, tidak ada soal, tetapi jika tidak ada kecukupan data, advokat rentan loh merubah fakta," urainya.

Sementara itu, gugatan Hoky terhadap Kantor Hukum Otto Hasibuan diduga karena keterlibatan pemalsuan bukti dalam persidangan sebelumnya, sehingga Hoky menggugat ke meja hijau secara real of law seorang diri tanpa menggunakan jasa pengacara, padahal penggugat hanya berlatar belakang seorang insinyur elekronika dan saat ini baru menjadi mahasiswa fakultas hukum semester 5 STIH IBLAM.

Hoky juga sempat menyampaikan di dalam persidangan bahwa pihaknya telah melayangkan 8 surat kepada kantor hukum Otto Hasibuan namun tidak pernah dijawab.

Kepada majelis hakim, Sugeng selaku saksi ahli menerangkan, bahwa sebagai penegak hukum advokat wajib memberikan jaminan kepercayaan publik. "Sepatutnya sebagai penegak hukum advokat dapat menjawab surat yang dilayangkan pihak yang terlibat perkara. Meskipun jawabannya bahwa apa yang dipertanyakan sudah dijawab di persidangan," ungkap Sugeng menyarankan.

Sugeng memberikan pemahamam tentang lawan perkara di dalam UU Advokat itu adalah sebagai teman sejawat ketika sedang berhadapan dengan perkara. Dan menurutnya berlaku setara dengan anggota masyarakat yang sedang berperkara dengannya, dimana harus diperlakukan dengan baik, karena salah satu aspek advokat adalah pertanggung jawaban kepada masyarakat dan advokat terikat kode etik pada pasal 5 tentang taat hukum.

Dijelaskan pula tentang pertanggung jawaban kepada publik. "Tentunya kalau ada publik mengirimkan surat sampai 8 kali dan datang tidak dilayani, itu merupakan aspek kode etik advokat dan surat patut dijawab," papar Sugeng.

Sementara itu, Hoky yang juga seorang wartawan senior, usai persidangan mengatakan, fakta dugaan pemalsuan data tersebut dapat dengan sangat mudah dibuktikan, karena ada 3 versi kepengurusan berbeda dalam satu peristiwa Munaslub Apkomindo tertanggal 2 Februari 2015.

Versi pertama fakta sesungguhnya pengurus Apkomindo terpilih pada peristiwa Munaslub tertanggal 2 Februari 2015 adalah Rudi Rusdiah sebagai Ketum dan Rudy Dermawan Muliadi sebagai Sekjen serta Suharto Juwono sebagai Bendahara.

Selanjutnya versi kedua dalam surat Gugatan perkara No: 633/Pdt.G/2018/PN JKT.SEL. yang dibuat oleh kantor hukum Otto Hasibuan dimana ditandatangani oleh Otto Hasibuan dan Sordame Purba serta Nurul Firdausi tertuliskan hasil peristiwa Munaslub Apkomindo tertanggal 2 Februari 2015 terpilih Rudy Dermawan Muliadi sebagai Ketum dan Faaz Ismail sebagai Sekjen serta Adnan sebagai Bendahara.

Padahal Rudi Rusdiah selaku saksi fakta yang terpilih sebagai Ketum pada peristiwa Munaslub Apkomindo tertanggal 2 Februari 2015 telah hadir dan menjadi saksi untuk pihak Hoky serta telah menjelaskan hal yang sebenarnya, namun hakim perkara di PN JakSel tersebut yang dipimpin oleh Ratmoho sebagai ketua majelis hakim dan Haruno Patriadi bersama Dedy Hermawan masing-masing sebagai hakim anggota dengan panitera pengganti M. Yusuf Shalahuddin tetap mengabulkan gugatan Rudy Dermawan Muliadi dan Faaz Ismail meskipun diduga kuat menggunakan dokumen palsu.

Dimana saat ini Faaz Ismail mencoba menghindar dari gugatan perkara dengan cara yang salah, yaitu tidak pernah hadir dan tidak bersama-sama lagi dengan Rudy Dermawan Muliadi menggunakan jasa kantor hukum Otto Hasibuan, karena menurut pengakuannya dihadapan Hoky dan Ali Said Mahanes serta Juenda menyatakan dirinya tidak benar terpilih pada peristiwa Munaslub Apkomindo tertanggal 02 Februari 2015 sebagai Sekjen DPP Apkomindo.

Perubahan sikap ini dilakukan oleh Faaz Ismail setelah dirinya sempat dipenjara karena divonis bersalah oleh PN Yogyakarta setelah melakukan penghinaan terhadap Hoky selaku Ketum Apkomindo melalui media sosial Facebook. 

Kemudian versi ketiga dalam surat Eksepsi dan Jawaban perkara No: 218/Pdt.G/2020/PN Jkt.Pst. yang dibuat oleh kantor hukum Otto Hasibuan dimana ditandatangani oleh Otto Hasibuan dan Sordame Purba serta Kartika Yustisia Utami tertera hasil peristiwa Munaslub Apkomindo tertanggal 2 Februari 2015 terpilih Rudi Rusdiah sebagai Ketum dan Rudy Dermawan Muliadi sebagai Sekjen serta Ir. Kunarto Mintarno sebagai Bendahara.

"Bagaimana mungkin ada satu peristiwa yang sama dan ditanggal yang sama, dapat menghasilkan 3 versi kepengurusan yang seluruhnya berbeda-beda," ujar Hoky mempertanyakan. 

"Oleh karena itulah telah secara berulang-ulang disampaikan oleh Mas Sugeng selaku ahli mengenai advokat ketika menerima dokumen harus memastikan dokumen itu benar dan Advokat harus membuat legal memorandum serta advokat tidak boleh merubah fakta, termasuk Advokat harus bertemu secara langsung dengan Klien, bahkan jika perlu direkam pembicaraannya, agar jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, pihak Advokat dapat memberikan bukti-buktinya," kata Hoky.

Terkait kepengurusan Apkomindo, diketahui sampai hari ini pemerintah belum pernah mengeluarkan pengakuan atas kepengurusan pihak yang selama ini melawan Hoky.

Sikap tegas pemerintah mengakui eksistensi Apkomindo di bawah kepengurusan Soegiharto Santoso tampak dalam bukti terbitnya SK KUMHAM RI Nomor AHU-0000478.AH.01.08.Tahun 2017 hasil Munas Apkomindo Tahun 2015. dan, juga SK KUMHAM RI Nomor AHU-0000970.AH.01.08.Tahun 2019 hasil Munas Apkomindo Tahun 2019. 

Bahkan baru-baru ini di akhir tahun 2022, kepengurusan Apkomindo di bawah kepemimpinan Soegiharto telah memperoleh surat No: AHU.2.UM.01.01-4714 dari KEMKUMHAM RI. ***