HUT RI ke-80 Dihiasi Uji Coba Payment ID: Satu Kode, Sejuta Data

HUT RI ke-80 Dihiasi Uji Coba Payment ID: Satu Kode, Sejuta Data

Guetilang.com — Menjelang perayaan HUT ke-80 RI, Bank Indonesia (BI) bersiap meluncurkan uji coba sistem Payment ID pada 17 Agustus 2025. Di tengah euforia kemerdekaan, beredar luas sebuah kalimat yang mengguncang: “Ketika satu kode tahu semua…” — sebuah metafora yang merangkum rasa cemas akan potensi pengawasan digital yang tak terbatas.

Penjelasan yang beredar menyebutkan bahwa Payment ID bukan sekadar inovasi sistem pembayaran, melainkan revolusi pengawasan uang digital oleh negara. Semua transaksi—mulai dari e-wallet, bank, QRIS, hingga saldo GoPay—akan tersambung langsung ke Nomor Induk Kependudukan (NIK). Langkah ini dinilai strategis karena 58% perekonomian Indonesia berada di sektor informal, sehingga pemerintah berupaya menutup celah penerimaan pajak.

Cara kerjanya terbilang membuat merinding: begitu pengguna melakukan transfer, top up, atau pembayaran digital, sistem langsung merekam nominal, waktu, dan lokasi transaksi, lalu menghubungkannya dengan seluruh akun bank dan dompet digital yang dimiliki. Data ini dikirim secara real-time ke basis data nasional, sehingga profil ekonomi seseorang akan tergambar jelas. Bahkan pembelian secangkir kopi pun bisa terekam.

Bank Indonesia menjelaskan, Payment ID adalah kode unik sembilan karakter yang dihasilkan dari proses hashing atas data seperti NIK atau NPWP. Pada tahap awal, sistem ini difokuskan untuk meningkatkan akurasi penyaluran bantuan sosial non-tunai. Namun, ke depannya, Payment ID akan digunakan untuk memetakan profil keuangan masyarakat secara menyeluruh dan real-time.

Dosen Ekonomi UGM, Eddy Junarsin, menilai sistem ini berpotensi memberikan keuntungan besar: akses kredit UMKM yang lebih mudah, keamanan transaksi yang lebih tinggi, serta transparansi fiskal yang lebih baik. Namun, ia mengingatkan risiko serius seperti terkikisnya privasi, potensi kebocoran data, hingga masalah teknis yang dapat mengganggu ekosistem keuangan.

Lembaga Studi Ekonomi dan Hukum (Celios) melihat Payment ID juga akan memperkuat basis data penerimaan pajak nasional. Meski begitu, tata kelola yang lemah bisa mengubahnya menjadi alat kontrol yang membatasi kebebasan finansial masyarakat.

Dari sisi roadmap, sistem ini akan diterapkan bertahap: 2025 dimulai di bank-bank utama, 2026 seluruh e-wallet dan QRIS akan terintegrasi, 2027 pajak dapat terpotong otomatis pada transaksi di atas batas tertentu, dan pada 2030 Payment ID menjadi identitas digital wajib untuk hampir semua aktivitas finansial.

Di tengah pro-kontra tersebut, sejumlah saran bertajuk “survival kit” mulai bermunculan: diversifikasi aset ke bentuk non-digital seperti emas atau properti, meningkatkan literasi perlindungan data sesuai UU PDP, serta menyiapkan opsi rekening luar negeri sebagai “rencana cadangan”. Pesan terakhir yang beredar luas terdengar seperti peringatan keras: “Begitu live 17 Agustus, tidak ada yang bisa sembunyi lagi!”

Kini, publik berada di persimpangan: antara optimisme akan efisiensi dan transparansi ekonomi, dan kekhawatiran bahwa setiap langkah finansial akan terekam tanpa ruang untuk privasi. Seperti halnya perjuangan mempertahankan tanah adat, di ranah digital pun ada ruang yang ingin dijaga—ruang finansial pribadi yang dianggap tak kalah sakral.