Lima Mahasiswa Gugat UU MD3 ke MK, Desak Hak Rakyat untuk “Recall” Anggota DPR

Lima Mahasiswa Gugat UU MD3 ke MK, Desak Hak Rakyat untuk “Recall” Anggota DPR

Jakarta — Gelombang kritik terhadap mekanisme pemberhentian anggota DPR (PAW/recall) kembali memuncak. Lima mahasiswa dari berbagai kampus secara resmi mengajukan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi pada 24 Oktober 2025.

Pemohon terdiri dari Ikhsan Fatkhul Azis, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Muhammad Adnan, dan Tsalis Khoirul Fatna. Perkara terdaftar dengan nomor 199/PUU-XXIII/2025.

Para mahasiswa tersebut menyampaikan pengujian atas Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3. Mereka turut menguraikan kedudukan hukum yang terkait kerugian hak konstitusional berupa hak politik sebagai warga negara dalam mengawasi jalannya pemerintahan, terutama yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu).

Rakyat Tak Bisa Berhentikan Wakilnya: “Kami Pemilih, tapi Tak Punya Suara”

Dalam permohonannya, para mahasiswa menegaskan bahwa sebagai pemilih, mereka kehilangan hak untuk mengontrol wakil rakyat yang dipilih langsung melalui pemilu.

Mekanisme recall yang kini sepenuhnya berada di tangan partai politik dinilai menciptakan kerugian konstitusional karena tidak memberi ruang bagi konstituen untuk memberhentikan anggota DPR yang dianggap gagal, melanggar etika, atau tak lagi mewakili kepentingan pemilih.

“Kursi DPR itu representasi rakyat di dapil, bukan milik partai atau individu,” tulis para pemohon dalam berkas gugatan.

Mereka menilai recall yang dikuasai parpol berpotensi menjadi alat politik internal, bukan mekanisme akuntabilitas publik.

Usulkan Model ala Taiwan: “Constituent Recall” untuk Indonesia

Para pemohon juga memberikan solusi: mengadopsi mekanisme constituent recall — konsep yang sudah diterapkan di Taiwan, di mana pemilih dapat mengusulkan dan memutuskan pemberhentian wakilnya melalui proses yang terukur dan demokratis.

Menurut mereka, ketiadaan mekanisme recall oleh rakyat bertentangan dengan sejumlah pasal UUD 1945, termasuk:

·         prinsip kesetaraan di hadapan hukum,

·         hak atas kepastian hukum yang adil,

·         serta konsep dasar kedaulatan rakyat.

Mereka meminta MK menyatakan pasal tersebut inkonstitusional bersyarat, kecuali dimaknai bahwa konstituen memiliki kewenangan memberhentikan anggotanya di DPR.

 

Recall Versi Partai Dinilai Kurang Cocok untuk Sistem Presidensial

Dalam argumennya, pemohon menilai kewenangan penuh partai politik untuk melakukan recall sebenarnya lebih sesuai dengan sistem parlementer, di mana kedudukan anggota legislatif sangat terkait dengan garis kebijakan partai.

Sementara Indonesia menganut sistem presidensial, yang secara teoritis menempatkan anggota DPR sebagai wakil rakyat secara langsung. Karena itu, menurut mereka, recall seharusnya berbasis legitimasi publik, bukan semata keputusan internal partai.

 

Resonansi Kuat di Kalangan Anak Muda

Isu ini mendapat sorotan luas dari generasi muda, terutama Gen Z, yang semakin vokal menuntut transparansi dan akuntabilitas politik. Mekanisme constituent recall dianggap sejalan dengan semangat partisipasi publik, check and balance, dan demokrasi langsung, yang belakangan semakin digaungkan di ruang digital.

Gugatan ini berpotensi menjadi perdebatan besar mengenai masa depan relasi rakyat, partai politik, dan DPR, serta membuka ruang baru untuk reformasi sistem ketatanegaraan.