Warga Tolak Jalan ke Hutan Bowosie: UNESCO Mendesak Stop Proyek, “Pemerintah Tak Mendengar!”

Warga Tolak Jalan ke Hutan Bowosie: UNESCO Mendesak Stop Proyek, “Pemerintah Tak Mendengar!”
Warga Tolak Jalan ke Hutan Bowosie: UNESCO Mendesak Stop Proyek, “Pemerintah Tak Mendengar!”

Guetilang.com — Masyarakat adat di Hutan Bowosie, Desa Nggorang, Labuan Bajo, menolak rencana pembangunan jalan menuju kawasan hutan, sambil menyuarakan bahwa hak mereka telah dirampas. Dalam video aksi yang tersebar di Instagram, terlihat warga menghadang alat berat, disertai teriakan lantang: “Lebih baik dibunuh daripada proyek ini diteruskan!” — sebuah cerminan kekecewaan dan rasa putus asa yang mendalam.

Wirausaha lokal mengungkapkan bahwa hingga kini tidak ada ganti rugi yang diberikan, sebagaimana disampaikan dalam wawancara dengan tim ekspedisi yang datang langsung ke lokasi.

Ketegangan ini memiliki akar sejarah panjang. Berdasarkan riset, sejak Taman Nasional (TN) Komodo dideklarasikan pada 1980, warga Komodo telah berulang kali mengalami eksklusi dari wilayah adat mereka. Banyak nelayan tradisional terpaksa beralih menjadi pemandu wisata. Namun, kapal yang mereka miliki kerap dinilai tidak memenuhi standar keamanan, sehingga sulit bersaing dengan pelaku wisata skala besar.

Kini, Komite Warisan Dunia (World Heritage Committee/WHC) UNESCO secara resmi mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan sementara seluruh proyek infrastruktur pariwisata di kawasan TN Komodo. Dalam surat resminya, UNESCO menegaskan perlunya peninjauan kembali Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) serta keterlibatan lembaga konservasi internasional seperti International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebelum proyek dilanjutkan.

Dalam wawancara dengan BBC Indonesia, seorang warga mengatakan: “Pemerintah tak mendengar. Kami sakit hati karena tanah leluhur kami direbut tanpa peringatan.”


Pro dan Kontra Pembangunan

  • Warga Lokal: Menolak pembangunan karena mengancam hutan adat dan kehidupan yang telah mereka jalani selama puluhan tahun.

  • BPOLBF & Pemerintah: Mengklaim memiliki otoritas hukum melalui izin AMDAL dan Hak Pengelolaan Lahan (HPL), serta menyebut telah berkonsultasi dengan tokoh lokal.

  • UNESCO & LSM: Meminta moratorium pembangunan demi menjaga warisan budaya dan alam.

  • Nelayan Lokal: Kehilangan sumber pendapatan, tidak mendapat ganti rugi, dan kalah bersaing dalam industri wisata.

  • Publik & Media: Mendorong keterbukaan proses, pemberdayaan masyarakat, dan pendekatan berbasis keadilan sosial.


Kronologi Singkat

  • 2011 – UNESCO menegaskan pentingnya perlindungan ekosistem TN Komodo setelah kawasan ini masuk daftar Warisan Dunia pada 1991.

  • 2018 – Muncul rencana pembangunan infrastruktur pariwisata skala besar di TN Komodo.

  • 2020 – Pemerintah memulai proyek “Jurassic Park” di Pulau Rinca.

  • 2022 – Protes masyarakat adat dan pegiat lingkungan meningkat.

  • 2023 – UNESCO kembali memperingatkan potensi degradasi nilai konservasi.

  • 2025 – Surat resmi UNESCO mendesak penghentian sementara seluruh proyek.


Dampak yang Dikhawatirkan

  • Kerusakan habitat komodo dan satwa endemik lainnya.

  • Penurunan kualitas ekosistem laut dan terumbu karang.

  • Gangguan pada rantai makanan alami.

  • Hilangnya nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV) sebagai situs warisan dunia.

  • Potensi penurunan daya tarik wisata berkelanjutan.


Dalam video yang viral di Instagram @idbaruid, terlihat momen kekerasan saat warga berusaha menghadang alat berat. Spanduk bertuliskan “Lebih baik dibunuh saja daripada proyek ini lanjut!” terbentang di lokasi, menjadi simbol tingkat ketegangan dan rasa frustrasi yang memuncak di tengah masyarakat.

Lantas, bagaimana pemerintah dan masyarakat bisa menemukan titik temu? Hanya waktu yang bisa membuktikan apakah dialog dan kompromi akan membawa solusi yang adil, atau konflik ini akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas.