Masalah BP Tangguh di Bintuni, Filep Tekankan Pentingnya Kesadaran Ecological Citizenship dalam Mekanisme Investasi
GUETILANG.COM, Papua Barat - Eksistensi BP Tangguh akhir-akhir ini sedang disoroti oleh berbagai pihak lantaran persoalan Tanggung Jawab Sosial (TJS)-nya yang dinilai kurang transparan dalam pengelolaannya, serta belum berdampak nyata terhadap kehidupan masyarakat adat.
Persoalan ini pun disikapi secara serius oleh Senator Papua Barat Dr. Filep Wamafma. Filep menyoroti persoalan ekologis yang tengah dihadapi oleh masyarakat ring I BP LNG Tangguh Bintuni. Menurutnya, BP Tangguh harus bertanggung jawab atas hak-hak ekologis masyarakat adat yang hilang.
“Kita cermati bersama masalah ini, sejak tahun 2003, kelompok Down To Earth (DTE) yang berbasis di Inggris, berkaitan dengan layanan pemantauan terhadap lingkungan dan pembangunan di Indonesia, telah melaporkan keraguan terhadap aktivitas BP Tangguh. Keraguan itu diantaranya mencakup pabrik penyulingan air laut yang katanya akan dibangun untuk menyediakan air minum di tempat pelaksanaan proyek, akan tetapi fasilitas itu bukan ditujukan untuk komunitas lokal,” ujar Filep di ruang kerjanya (22/6/2023).
“Lalu, BP mengatakan berbagai cara telah dilakukan untuk mencegah terjadinya kebocoran jalur pipa bawah laut sepanjang 25 kilometer. Ternyata pada Juni 2022 ada kebocoran pipa gas Tangguh. Di persoalan ini, saya khawatir hak ekologis masyarakat 7 suku di Bintuni dinegasikan,” katanya lagi.
Filep yang akrab disapa Pace Jas Merah ini lantas menekankan pentingnya konsep kewarganegaraan ekologis atau ecological citizenship diperhatikan dalam seluruh mekanisme investasi.
“Sudah seharusnya konsep kewarganegaraan ekologis ini diperhatikan, konsep ini menggambarkan hubungan manusia dengan lingkungan yang di dalamnya terdapat unsur kesadaran dan kepedulian yang dituangkan dalam suatu bentuk aplikatif melalui kebiasaan dan kegiatan berbasis lingkungan,” jelasnya.
Senator Filep menerangkan, konsep ecological citizenship tersebut menuntut adanya tanggung jawab BP Tangguh untuk memenuhi hak-hak ekologis masyarakat 7 suku di Bintuni. Berkaitan dengan hal itu, dirinya menyebut situasi kehilangan tanah adat, kehilangan mata pencaharian, kehilangan jaminan hidup, stunting hingga kemiskinan seluruhnya harus diperhatikan BP Tangguh.
“Tapi faktanya, garis kemiskinan sesuai data BPS justru naik di tahun 2021. Bagaimana tanggung jawab BP terhadap semua ini? Kita berharap dari CSR-nya, tetapi transparansi dan hasil pengelolaan CSR-nya seperti apa? Belum lagi diperparah dengan mekanisme mengambil dari cost recovery. Ini sama saja dengan menisbikan hak ekologis masyarakat,” tegas Filep.
“Kita tahu bersama, pada dasarnya, perpindahan masyarakat Tanah Merah, menyebabkan perubahan yang signifikan. Karena setelah dipindahkan ke kampung baru mereka tidak lagi dapat menangkap udang, tetapi mereka dipaksa bekerja sebagai petani, padahal kondisi tanah pun tidak cocok, sehingga adaptasi mereka dalam waktu cepat tentu tidak bisa dilakukan. Maka hasilnya pendapatan menurun,” ujar Filep menambahkan.
Lebih lanjut, doktor lulusan Unhas ini menyitir penelitian di tahun 2002 tentang keraguan terhadap operasi BP Tangguh. Ia menuturkan bahwa di tahun 2002, terdapat suatu pengkajian dan penegasan dampak terhadap hak asasi manusia (HRIA) yang dikumpulkan oleh mantan pejabat Departemen Dalam Negeri Amerika Serikat, Bennet Freeman dan seorang pengacara AS, Gare Smith, memberikan rekomendasi terhadap BP Tangguh.
Adapun rekomendasi itu antara lain, (1) Membayar dengan harga yang adil terhadap tanah yang digunakan dengan nilai yang dapat dibandingkan dengan tanah lainnya yang digunakan dalam budaya subsistem di Papua (2) Membantu pemerintah provinsi dan lokal untuk mengembangkan panduan memberikan demarkasi batas-batas tanah tradisional, membayar restitusi (ganti rugi) atas pohon-pohon yang ditebang dan hilangnya wilayah pemancingan ikan.
(3) Mendorong pemerintah pusat untuk memberikan jaminan pendapatan daerah seperti yang tertera dalam Otonomi Khusus. (4) Membuat perundang-undangan yang mengatur penjualan dan penggunaan tanah komunal dan tanah milik masyarakat adat, untuk membatasi imigrasi, (5) Membangun kursus-kursus pelatihan untuk menentang asumsi-asumsi rasial tentang superioritas/inferioritas, dan memberikan prioritas pilihan terhadap orang-orang Papua untuk posisi-posisi senior di perusahaan.
“Namun faktanya sekarang bagaimana? OAP yang kerja di level senior manager ada berapa? Harga yang adil terhadap tanah masyarakat 7 suku bagaimana? Penduduk Tanah Merah Baru, Saengga dan Onar terdampak relokasi namun masyarakatnya kurang diperhatikan. Masyarakat harus menjalani kehidupan dengan kondisi tidak adanya air bersih, fasilitas pendidikan yang buruk. Masyarakat bahkan hanya bergantung pada air hujan atau air sungai yang keruh. Anak-anak Bintuni mengalami gizi buruk karena konsumsi air tidak layak minum. Jadi di mana tanggung jawab BP terhadap hak-hak ekologis itu?” tanya Filep.
Atas kondisi tersebut, Senator Papua Barat ini berharap agar BP Tangguh secara serius mendengarkan persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat 7 suku di Bintuni, yang sangat terdampak dengan kehadiran BP Tangguh sehingga dapat tertangani dengan lebih baik lagi. (REP)