Opini: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia — Angka Menggembirakan, Rakyat Masih Menjerit di Hari Kemerdekaan

Opini: Pertumbuhan Ekonomi Indonesia — Angka Menggembirakan, Rakyat Masih Menjerit di Hari Kemerdekaan

GUETILANG, MANADO - Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah usia yang cukup matang bagi sebuah bangsa. Perjalanan panjang ini seharusnya membawa rakyat pada cita-cita luhur yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun, di tengah peringatan 80 tahun kemerdekaan, muncul pertanyaan besar: apakah pertumbuhan ekonomi kita benar-benar telah menghadirkan kemerdekaan yang nyata bagi rakyat kecil?

Angka Pertumbuhan yang Menggembirakan

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 % year-on-year pada kuartal II-2025, laju tercepat sejak dua tahun terakhir dan melampaui ekspektasi banyak analis. Secara global, capaian ini cukup membanggakan, mengingat banyak negara lain justru kesulitan menjaga pertumbuhan di tengah ketidakpastian dunia.

Namun, kebanggaan itu sering kali terasa semu. Di banyak meja makan rakyat kecil, angka-angka tersebut tidak menghadirkan senyum, melainkan tanda tanya: mengapa hidup masih terasa berat?

Kemiskinan Menurun, Tapi Belum Tuntas

Data resmi menunjukkan kemiskinan nasional menurun dari 9,36 % pada 2023 menjadi 9,03 % pada 2024, sedangkan kemiskinan ekstrem turun dari 1,12 % menjadi 0,83 %. Bahkan, pada Maret 2025, BPS menyebut angka kemiskinan ekstrem hanya 0,85 % atau sekitar 2,38 juta jiwa.

Namun, dengan standar internasional (World Bank, $3/hari PPP 2021), masih ada 5,4 % penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan pada 2024. Artinya, jutaan rakyat kita belum merasakan manisnya kemerdekaan dari belenggu ekonomi. Kemiskinan di atas kertas memang menurun, tapi kerentanan sosial-ekonomi masih tinggi. Satu krisis pangan atau kenaikan harga BBM bisa kembali menjatuhkan mereka ke jurang kemiskinan.

Pengangguran Rendah, Tapi Pekerjaan Rentan

Secara resmi, tingkat pengangguran terbuka hanya 3,3 % pada 2024. Namun, realitas di lapangan menunjukkan sesuatu yang berbeda. Banyak anak muda sulit mendapat pekerjaan tetap, sementara jutaan orang bergantung pada sektor informal: buruh harian, pedagang kecil, hingga pekerja lepas.

Di beberapa daerah, angkanya bahkan jauh lebih tinggi. Palembang, misalnya, sempat mencatat 10,11 % pada 2021, jauh di atas rata-rata nasional. Fenomena ini memperlihatkan adanya jobless growth — pertumbuhan yang tidak otomatis menciptakan pekerjaan layak.

Kesenjangan: Siapa yang Menikmati Pertumbuhan?

Pertumbuhan ekonomi kita masih sangat dipengaruhi sektor-sektor tertentu seperti komoditas ekspor, keuangan, dan industri ekstraktif. Sektor ini memang mendongkrak PDB, tetapi tidak banyak membuka lapangan kerja bagi rakyat kecil.

Contoh paling jelas ada di Sulawesi Tengah. Meski terjadi booming nikel yang mengerek angka pertumbuhan dan menurunkan kemiskinan, ketimpangan tetap tinggi di pedesaan. Karena itu, banyak ahli menekankan perlunya penciptaan green jobs: pekerjaan ramah lingkungan di sektor daur ulang, agroforestri, hingga ekowisata yang lebih menyentuh masyarakat akar rumput.

Refleksi 80 Tahun Kemerdekaan

Delapan dekade lalu, bangsa ini merebut kemerdekaan dari penjajahan fisik. Namun kini, tantangan kita adalah membebaskan rakyat dari “penjajahan baru” berupa kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan sosial. Kemerdekaan ekonomi bukan sekadar pertumbuhan PDB, tetapi juga kemerdekaan rakyat dari rasa lapar, dari pengangguran, dan dari ketidakadilan distribusi kesejahteraan.

Jika pertumbuhan hanya menjadi kebanggaan segelintir orang di puncak piramida ekonomi, maka makna kemerdekaan menjadi timpang.

Di sisi lain, beban masyarakat justru semakin berat akibat pajak dan pungutan lain. Banyak warga mengeluhkan bahwa meskipun harga-harga kebutuhan pokok naik, kebijakan perpajakan belum memberikan keringanan yang berarti. Bahkan, beberapa UMKM merasa terbebani pajak yang dianggap tidak proporsional dengan pendapatan mereka.

Situasi ini memunculkan keresahan di berbagai daerah. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, masyarakat melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan tertentu yang dianggap merugikan rakyat kecil. Tuntutan mereka sederhana: pemerintah harus lebih berpihak pada rakyat, bukan hanya pada kepentingan investor besar. Suara-suara dari Pati ini sesungguhnya mewakili kegelisahan banyak daerah lain di Indonesia.

Jalan ke Depan: Pertumbuhan yang Inklusif

  1. Dorong sektor padat karya dan UMKM untuk menyerap tenaga kerja rakyat kecil.
  2. Bangun ekonomi hijau (green economy) agar pertumbuhan tidak sekadar eksploitasi sumber daya, tapi juga memberi pekerjaan berkelanjutan.
  3. Tingkatkan kualitas pendidikan dan vokasi untuk memastikan generasi muda siap bersaing di pasar kerja modern.
  4. Perkuat kebijakan pangan dan jaring pengaman sosial untuk melindungi rakyat dari fluktuasi harga dan krisis.
  5. Kurangi ketimpangan antarwilayah dengan memperkuat pembangunan di daerah tertinggal.

Penutup

Delapan puluh tahun merdeka seharusnya bukan hanya perayaan bendera dan parade, tetapi juga perayaan nyata: rakyat yang sejahtera, bebas dari kemiskinan, tidak diberi beban tambahan dan memiliki kesempatan kerja dan upah yang layak.

Jika kita jujur, persoalan ini menyentuh esensi kemerdekaan itu sendiri. Apalah arti kemerdekaan 80 tahun bila rakyat masih terjepit kemiskinan, kesenjangan melebar, PHK marak, dan beban pajak tak seimbang? Pertumbuhan ekonomi seharusnya bukan hanya angka di laporan resmi, melainkan terasa di dapur rakyat, di lapangan pekerjaan, dan di usaha kecil yang menopang ekonomi nasional.

Kemerdekaan bukan sekadar simbol, tetapi janji untuk menghadirkan keadilan sosial. Janji itulah yang kini ditagih oleh rakyat—dari desa-desa di Pati hingga kota-kota besar di seluruh Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang kita miliki hari ini harus diarahkan menjadi pertumbuhan yang berkeadilan. Karena hanya dengan begitu, cita-cita para pendiri bangsa akan benar-benar tercapai: kemerdekaan yang membawa kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(Penulis : Octavianus Barauntu)