OPINI : Sekolah Tempat Belajar atau Tempat Luka? Mengurai Akar Bullying dan Solusinya

GUETILANG, BITUNG - Darurat Perundungan di Sekolah — Siapa Bertanggung jawab dan Apa yang Harus Dilakukan? Opini oleh: (Redaksi) — Bullying/perundungan di sekolah bukan sekadar masalah kedisiplinan murid; ini masalah hak anak, keselamatan, dan kewajiban hukum yang harus ditindaklanjuti oleh sekolah serta negara.
Kasus perundungan yang terus bermunculan menunjukkan bahwa upaya pencegahan selama ini belum memadai. Sekolah sebagai rumah kedua anak harus aman — bukan tempat trauma. Ketika anak dipaksa menanggung rasa malu, cedera fisik, atau bahkan kehilangan nyawa karena perundungan, publik berhak menuntut akuntabilitas: dari guru, kepala sekolah, dinas pendidikan daerah, hingga pemerintah pusat. Pernyataan ini didasarkan pada data aduan, regulasi yang mengatur pencegahan dan penanganan, serta pedoman teknis kementerian.
Fakta & Bukti (ringkas)
- Data pelaporan menunjukkan kasus perundungan yang dilaporkan mencapai puluhan kasus yang diproses pada 2023; beberapa bahkan berakibat fatal. Laporan media dan lembaga menunjukkan 30 kasus perundungan yang dilaporkan sepanjang 2023, dengan beberapa korban meninggal dunia.
- Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan organisasi guru mencatat perundungan tetap menjadi bentuk kekerasan paling dominan di lingkungan pendidikan.
- Pemerintah melalui Kementerian (Kemdikbud/-ristek) sudah menerbitkan pedoman dan program pencegahan; namun implementasi di tingkat satuan pendidikan beragam
Dasar Hukum — Apa yang mengikat?
-
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan — mengatur kewajiban sekolah untuk melakukan pencegahan, penanganan, dan menetapkan sanksi internal serta mekanisme pelaporan (TPPK, Satuan Tugas, mekanisme rujukan). Pasal-pasalnya menjadikan pencegahan kekerasan (termasuk perundungan) bagian dari tata kelola sekolah.
- Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 (Perubahan atas UU No. 23/2002) tentang Perlindungan Anak — menjamin hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi; negara, pemerintah daerah, dan orang tua memiliki tanggung jawab pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak. Pelanggaran berat terhadap hak anak dapat berimplikasi pidana atau administratif sesuai ketentuan lain yang relevan.
Ringkas: Perundungan bukan sekadar “masalah murid” — secara hukum masuk ke ranah perlindungan anak dan kewajiban institusi pendidikan. Oleh karena itu pihak sekolah dan pemerintah daerah dapat dikenai konsekuensi administratif atau diperiksa bila lalai.
Peran Pemerintah (pusat & daerah)
1. Pusat (Kementerian Pendidikan, Kemen PPPA, Kemenkes): menetapkan kebijakan nasional, pedoman teknis, modul pencegahan, kampanye publik, serta mekanisme rujukan lintas-instansi; melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan di daerah. (Sudah ada pedoman pencegahan/penanganan).
2. Pemerintah Daerah / Dinas Pendidikan: mengawasi implementasi di sekolah, menyediakan SDM (konselor/sekolah sehat mental), memastikan ada saluran pelaporan yang fungsional, dan memberikan sanksi administratif terhadap kepala sekolah/guru bila terbukti lalai.
3. Penegak Hukum & Lembaga Perlindungan Anak (KPAI/Komnas PA): bila perundungan mengandung unsur pidana (pemukulan berakibat luka/kematian, pemerasan, pelecehan seksual), kasus harus dirujuk ke aparat penegak hukum; KPAI melakukan advokasi dan rekomendasi kebijakan.
Peran Sekolah (yang wajib dilakukan)
1. Menyusun dan Menjalankan Kebijakan Anti-Bullying: membuat SOP pencegahan & penanganan (TPPK/TIm Penanggulangan), prosedur pelaporan, mekanisme investigasi internal, dan rujukan ke layanan kesehatan/psikolog serta aparat bila perlu. (Diatur Permendikbud).
2. Pendidikan Karakter & Intervensi Kurikuler: memasukkan pendidikan empati, resolusi konflik, literasi emosi, dan aturan perilaku ke dalam kegiatan belajar-mengajar.
3. Pelatihan untuk Guru & Orang Tua: deteksi dini tanda korban/pelaku, teknik intervensi non-kekerasan, serta kerja sama dengan orang tua untuk tindak lanjut.
4. Fasilitas Pelaporan Aman: kanal pengaduan yang dapat diakses anak tanpa takut balas dendam, serta jaminan perlindungan sementara korban selama proses penanganan.
Mengapa implementasi sering gagal? (Opini)
- Normalisasi Kekerasan: budaya “dahulu kita juga begitu” merusak sensitivitas guru dan orang tua terhadap bahaya perundungan.
- Kekurangan SDM Profesional: sedikit sekolah yang memiliki konselor atau psikolog terpenuhi normanya.
- Mekanisasi Pelaporan yang Lemah: tanpa sistem pelaporan dan perlindungan saksi/korban yang kuat, kasus sering tidak terlaporkan atau ditutup secara administratif.
-
Akuntabilitas Rendah: sanksi administratif terhadap kepala sekolah/guru yang lalai belum selalu diterapkan secara tegas.
Karena itu solusi harus struktural — bukan hanya “ketok palu” aturan tapi perbaikan kapasitas, anggaran, dan budaya sekolah.
Rekomendasi konkret (tahapan aksi)
-
Wajibkan setiap sekolah memiliki:
-
SOP pencegahan/penanganan bullying yang dipublikasikan;
-
Saluran pelaporan anonim (online/posko) dan protokol perlindungan saksi/korban.
-
-
Perkuat kapasitas guru & tenaga kependidikan: pelatihan wajib deteksi dan intervensi, serta pendidikan karakter terukur dalam kurikulum.
- Sediakan layanan rujukan: akses psikolog/konselor di tingkat kecamatan/kabupaten yang bisa dipanggil oleh sekolah.
- Transparansi & Pelaporan Publik: dinas pendidikan wajib menerbitkan laporan triwulanan tentang kasus dan tindak lanjutnya. Data publik meningkatkan akuntabilitas.
- Sanksi tegas bila ada kelalaian institusi: investigasi administratif terhadap kepala sekolah/guru jika terbukti menutup kasus atau lalai menangani. Dasar hukumnya ada dalam Permendikbud & UU Perlindungan Anak.
Penutup — Seruan sekaligus pengingat
Perundungan di sekolah adalah luka kolektif yang menggerogoti hak anak untuk belajar dengan aman. Perubahan memerlukan komitmen lembaga: kebijakan yang jelas saja tidak cukup — harus diikuti sumber daya, pengawasan, dan keberanian untuk mengambil tindakan terhadap pelaku maupun pihak yang lalai. Pemerintah, sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus bekerja sama: tidak ada toleransi untuk budaya yang meremehkan rasa sakit anak. Jika kita ingin generasi masa depan yang sehat dan produktif, kita harus mulai dari lingkungan terdekat mereka: sekolah yang melindungi — bukan yang melukai.
Lampiran — Dokumen & Sumber (bukti yang dilampirkan)
1. Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 — Peraturan Menteri tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan.
2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 — Perubahan atas UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak.
3. Situs dan pedoman Kemdikbud (merdekadarikekerasan / pedoman pencegahan) — pedoman teknis pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah.
4. Data pelaporan/berita terkait kasus perundungan 2023 — ringkasan kasus yang dilaporkan (contoh: Databoks / media yang merangkum kasus 2023).
5. Publikasi & rekomendasi KPAI terkait bullying dan pendidikan karakter.
(***Ob)