Edukasi Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Pemberantasan Korupsi oleh Asst. Prof. Dr. Dwi Seno

Edukasi Hukum Pertanggung Jawaban Pidana Korporasi Dalam Pemberantasan Korupsi oleh Asst. Prof. Dr. Dwi Seno

GUETILANG.COM, Jakarta – Asst. Prof. Dr. Dwi Seno Wijanarko, SH.,M.H.,CPCLE.,CPA merupakan dosen Fakultas hukum Universitas Bhayangkara Jakarta Raya sekaligus Dosen Pengampu mata kuliah Tindak Pidana Korupsi, dalam paparannya pada Kamis 21 September 2023, Asst. Prof. Dr. Dwi Seno memberikan edukasi tentang Pertanggung jawaban Korporasi dalam pencegahan Tindak Pidana Korupsi, dengan penjelasan sebagai berikut, saat ini banyak perkara korupsi yang ditangani oleh KPK, Kepolisian dan Kejaksaaan melibatkan korporasi. Namun selama ini pemidanaan dalam tindak pidana korupsi hanya berfokus pada pengurus korporasinya saja.

Paradigma Aparat Penegak Hukum mungkin masih dipengaruhi oleh asas “societas delinquere non potest” atau “universitas delinquere non potest” yang dianut pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP). Memang pada KUHP, paradigma yang terbangun adalah badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana. Apabila dalam suatu korporasi terjadi tindak pidana maka tindak pidana tersebut dianggap dilakukan oleh pengurus korporasi. Sehingga yang dipandang sebagai pelaku tindak pidana adalah manusia alamiah (natuurlijke per soon).

Asas ini merupakan contoh pemikiran pada abad ke-19, dimana kesalahan menurut hukum pidana selalu disyaratkan sebagai kesalahan dari manusia, salah satu bukti masih dominannya paradigma pemidanaan terhadap pengurus korporasi di Indonesia dapat terlihat pada Pasal 59 KUHP yang mengatakan“ Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.

Padahal pengaturan terkait Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diatur secara khusus di UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Dalam UU tersebut sudah sangat jelas dan dapat memberikan landasan hukum untuk bisa memperkarakan korporasi sebagai subjek hukum, hal ini salah satunya tercermin pada pasal 1 angka 3 yang menyebutkan definisi unsur setiap orang adalah perseorangan atau termasuk korporasi.

Pandangan pemidanaan yang hanya terfokus pada pengurus saja, hal ini mengakibatkan kendala dalam pengembalian kerugian keuangan negara dikarenakan sebagian keuangan negara telah masuk menjadi harta kekayaan korporasi yang notabene nya kekayaan korporasi merupakan kekayaan yang terpisah daripada pengurus korporasi.

Pengertian perusahaan menurut Undang-undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan, adalah:“setiap bentuk usaha yang menjalankan setiap jenis usaha yang bersifat tetap dan terus menerus dan yang didirikan, bekerja serta berkedudukan dalam wilayah Negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan dan atau laba,sedangkan menurut Undang-undang Nomor 40 tahun 2007 korporasi adalah: “persekutuan modal, berdiri berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal awal yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.

Mengenai kapan suatu PT mulai berstatus sebagai badan hukum masih terdapat ketidakseragaman. Di satu sisi, ada yang berpendapat bahwa PT mulai berstatus sebagai badan hukum setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri (dalam hal ini Menteri Hukum dan HAM RI), sementara di sisi lain ada pula yang berpendapat bahwa PT berstatus sebagai badan hukum itu tidak cukup hanya dengan setelah akta pendirian PT disahkan oleh Menteri, tetapi harus ditambah dengan telah dilakukannya pendaftaran dan pengumuman terhadap PT. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas (UUPT) menentukan bahwa pertanggung-jawaban pemegang saham

PT hanya terbatas pada nilai saham yang dimiliki dalam PT.Peraturan umum dari badan hukum adalah Pasal 1653 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa,selain perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan orang sebagai perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.

Sebagai subjek hukum, badan hukum mempunyai kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang, akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang hukum harta kekayaan,karena bentuk badan hukum adalah sebagai badan atau lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaannya badan hukum bertindak dengan perantaraan pengurus-pengurusnya, Pasal 1 butir 4 UUPT adalah organ perseroan yang bertanggung-jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan.Sebagaimana halnya tanggung jawab terbatas pemegang saham PT, keterbatasan tanggung

jawab itu juga berlaku terhadap anggota direksi meskipun tidak secara tegas dinyatakan dalam pasal-pasal UUPT.

Apabila anggota direksi tidak bersalah dan tidak lalai menjalankan tugasnya, maka berarti direksi tidak bertanggung jawab penuh secara pribadi.Selama direksi menjalankan tugas dan kewajibannya dengan penuh tanggung jawab, maka anggota direksi tetap mempunyai tanggung jawab yang terbatas yang merupakan ciri utama dari PT.Kejahatan korporasi adalah pada sector produksi, dimana tujuan utama pelaku adalah untuk memaksimalkan keuntungan korporasi dan/atau mengurangi biaya-biaya produksi,contoh yang lazim terjadi dalam dunia bisnis adalah penipuan oleh suatu korporasi.

Secara tradisional, penipuan ini sering kali dilakukan oleh pihak manajemen korporasi sebagai bagian dari kebijakan korporasi, ia tidak dilakukan oleh individu-individu yang terpisah dari korporasi dimana individu tersebut bekerja perlu diketahui dalam common law system, pada awalnya korporasi tidak dapat dimintakan pertanggung jawaban atas kejahatan yang dilakukan, karena korporasi tidak memiliki pikiran dan hati yang bisa menentukan perasaan bersalah sebagaimana manusia yang harus dimintai pertanggung jawaban dalam suatu kejahatan.

Namun, demikian ini tidak dapat menghalangi adanya suatu predikat kejahatan, tetapi kejahatan itu harus dilakukan oleh orang atau anggota dari korporasi tersebut yang terlibat secara langsung maupun tidak secara langsung, pertanggung jawaban korporasi ini muncul dalam beberapa tahap. Awalnya, kejahatan akibat kelalaian yang dibawa pelaku sebagai pertanggung jawaban pidana juga terjadi pada korporasi.

Ini merupakan pertanggung jawaban pidana yang sempurna. Tindakan yang disebabkan kelalaian ini, bagaimanapun juga, memerlukan kewajiban untuk mempertanggung jawaban, perluasan pertanggung jawaban korporasi menjadi pertanggungjawaban pidana yang sempurna meliputi tindakan karena kelalaian dan menjadi premis dasar yang tidak dapat dihukum sebagai tindak pidana dengan maksud bahwa korporasi tidak cakap dalam melakukan kejahatan, dengan demikian, perlu adanya suatu aturan yang menghukum korporasi dipertimbangkan legitimasinya.

Kejahatan korporasi (coporate crime) berbeda dengan crime against corporation dan criminal coporation.Konsep crime against corporation Biasa disebut dengan kejahatan jabatan atau kejahatan terhadap korporasi, merupakan kejahatan di mana pelaku kejahatan tersebut melakukan kejahatan yang ditunjukan kepada korporasi, seperti penyalahgunaan kekuasaan yang dimiliki seorang karyawan suatu korporasi. kejahatan terhadap korporasi (crimes against corporation), juga sering dinamakan dengan employee crimes, merupakan kejahatan yang dilakukan oleh para karyawan atau pekerja terhadap korporasi.

Misalnya penggelapan dana perusahaan tersebut. Pelaku kejahatan ini tidak hanya terbatas pada karyawan dari badan hukum atau korporasi yang bersangkutan, tetapi juga masyarakat luas bisa menjadi pelaku kejahatan terhadap korporasi jenis ini.

Pertanggung jawaban perseroan terbatas, sebagai salah satu bentuk korporasi, sebagai pelaku tindak pidana adalah suatu hal yang tidak sederhana mengingat korporasi adalah badan hukum.

Permasalahan ini berpangkal pada asas tiada pidana tanpa kesalahan. Kesalahan adalah mens rea atau sikap kalbu, yang secara alamiah hanya ada pada orang alamiah aja. Dan oleh sebab itu, maka dipandang manusia alamiah yang bisa dimintakan pertanggung jawaban pidana,terhadap mens rea diatas, maka ayat (2) dari pasal 20 UUPTPK mengikuti ajaran identifikasi dan teori fungsional, dimana tindak pidana korupsi dianggap dilakukan oleh korporasi, bila mana tindak pidana dilakukan oleh orang-orang yang erat hubungannya dengan korporasi yang bersangkutan.

Dengan demikian, tidak akan menjadi perdebatan mengenai kemungkinannya suatu korporasi memiliki unsur mens rea,selain itu, ayat (2) tersebut, yang memperluas pengertian “pengurus:, bisa diterima, mengingat dalam kenyataanya, sebagai contoh, bisa saja terjadi pengurus suatu korporasi itu bertindak hanya untuk sekedar “boneka” yang patuh pada petunjuk orang lain, atau segala perbuatan korporasi dilakukan atas perintah dan persetujuan orang lain itu, yang mana orang dimaksud tidak mempunyai kedudukan formal dalam korporasi yang bersangkutan.

“Artinya, bisa saja terdapat defacto director atau shadow director pada suatu korporasi,bila mana pengertian pengurus ini tidak diperluas, maka tentu hukum tidak bisa menjangkau kepada pertanggungjawaban korporasi, sebab bisa saja korporasi itu dijalankan oleh orang alamiah yang secara formal tidak menjabat sebagai anggota pengurus.

Permintaan pertanggung jawaban pidana kepada korporasi dan manusianya itu jauh lebih murah bila dibandingkan dengan cara menuntut pidana manusia dan mengajukan gugatan perdata dengan permintaan ganti rugi ke korporasinya. Untuk hal ini, meskipun disampaikannya secara tidak langsung, akan tetapi saya memandang adalah lebih bijak dan baik bila mana penuntutan terhadap manusianya yang memiliki directing mind itu dilakukan terlebih dahulu dibandingkan dengan penuntutan terhadap korporasinya.

Jika manusianya telah terbukti bersalah melakukan tindak pidananya, maka itu akan lebih memudahkan pembuktian dalam persidangan untuk penuntutan bagi korporasinya, akan tetapi bisa saja pengajuan ke pengadilan terhadap manusia dan korporasinya itu dilakukan oleh penuntut umum pada waktu yang bersamaan. Kalau hal ini dilakukannya, ada kemungkinan majelis hakim yang mengadili kedua perkara itu, yaitu perkara yang melibatkan directing mind atau manusianya, dan perkara yang mendudukkan korporasi sebagai terdakwanya, diperiksa dan diadili oleh majelis hakim yang sama.

Sebaliknya, jika penuntutan terhadap korporasinya dilaksanakan setelah terbuktinya secara sah kesalahan manusia alamiahnya, maka bisa terjadi majelis hakim yang menangani perkara bagi korporasi itu berbeda dengan majelis hakim yang memutus directing mind-nya itu bersalah.Strategi yang akan ditempuh ini tentu perlu didahului dengan pertimbangan yang baik dan cermat, karena sulit menggeneralisasi langkah mana yang sebaiknya ditempuh, mengingat setiap perkara pidana yang menyangkut korporasi, termasuk tindak pidana korupsi, mempunyai keunikan tersendiri” Jelas Dosen yang sekaligus merupakan ahli hukum pidana. (REP)