Kisah Pilu Eks PMI Alami Perkosaan dan Kerja Paksa

Kisah Pilu Eks PMI Alami Perkosaan dan Kerja Paksa

Kisah sedih dan pilu Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang mengadu nasib di negeri orang sepertinya tak ada habis-habisnya. Warni (nama samaran), salah satunya, warga asal Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur mengaku pernah diperkosa karyawan agency pengiriman tenaga kerja ke luar negeri. Tak cuma itu, Warni juga dipaksa melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan seorang pria.

Dalam satu kesempatan, Warni mencurahkan seluruh pengalaman pahit yang dialaminya melalui satu tulisan ringkas tentang kisah pilunya dan dikirim ke redaksi Guetilang di Jakarta baru-baru ini.

Pada 2001 lalu, Warni mengisahkan, dirinya didatangi tamu yang tak dikenal ke rumahnya, yang ternyata adalah seorang sponsor pemberangkatan PMI ke luar negeri. Akibat bujuk rayu sang sponsor, Warni akhirnya tergiur dan mau berangkat ke luar negeri dengan tujuan Malaysia lewat jalur tak resmi. Ia pun mengaku hal itu terpaksa dilakukan demi masa depan anak semata wayangnya.

Keesokan harinya, Warni pun berangkat dan tiba di penampungan, berlokasi di Jalan Tinalan Nomor 60 Kediri. Tiba di situ sekitar pukul 6 malam dan disuruh istirahat oleh petugas tempat penampungan bersama sejumlah calon PMI lainnya.

Di pagi hari, Warni sempat membantu petugas penampungan menyiapkan makanan. Sesudah itu ia dipanggil untuk mengikuti proses wawancara. Ia pun diimingi bekerja di sebuah restoran setelah melihat kopi ijazah SLTA miliknya.

Ketika itu Warni merasa bangga sekali akhirnya bisa diterima bekerja sebagai karyawan restoran bukan menjadi PRT seperti temannya.

Di sore hari, ia dan sejumlah orang lainnya, berangkat menuju Merak - Bakauni, dengan berbekal 100 ribu rupiah uang yang diberikan ibunya. Perjalanan yang ditempuh memakan waktu 3 hari baru tiba di Medan, Sumatera Utara.

Ia menceritakan kondisi di tempat penampungan yang mirip ruang penjara, dan tidak ada papan nama perusahaan atau PT di lokasi. Di saaat itu, tutur Warni, ada petugas jaga yakni Ucok  asal Medan mengawasi para calon PMI agar tidak kabur.

Seminggu kemudian ia minta bantuan agar diberi kejelasan status dan keberadaannya selama di penampungan. Dan Warni bersyukur ada seorang yang bernama Hasan Bisri, mengaku Kepala dinas Pendidikan Kota Medan yang membantunya.

Setelah sebulan menempati lokasi penampungan, Warni diberi kesempatan mengurus pasport di Belawan, Sumatera Utara. Setelah paspor selesai diurus, Warni pun kembali ke tempat PKL. Namun ternyata nama dalam paspornya harus diganti nama dan alamat.

Warni pun menggunakan nama anak kandungnya, Arisandi sebagai nama resmi untuk dicantumkan ke pasport miliknya. Kemudian mereka diberangkatkan melalui Tanjung Balai Asahan dengan menumpangi sebuah perahu kecil yang sangat beresiko mengalami kecelakan karena kondisi cuaca kurang bersahabat dan hujan deras. “Air sudah masuk ke dalam perahu dan kami hanya bisa menangis dan bersholawat agar diberi keselamatan. Setelah melewati situasi yang mencekam, kami akhirnya tiba di Fort Klang pada petang hari dan dijemput seorang sopir dari pihak agency,” tuturnya.

Malang nasibnya, Warni justeru diperkosa oleh seseorang yang menjemputnya tadi. “Alasan dia memerkosa saya karena katanya saya cantik. Saya tidak bisa melawan dan terpaksa menerima nasib karena takut dan tidak tahu harus mengadu kepada siapa,” bebernya.

Warni kemudian diantar ke tempat agency lagi. Dan ternyata bukan  dipekerjakan sebagai karyawan di Jawa Restoran namun semuanya sebagai pembantu rumah tangga (PRT).

Keesokan harinya, Warni dibawa majikan yang keturunan Tionghoa, pemilik usaha pembuatan kasur Alena, di Candan Raya Menglembu Ipoh Perak, Malaysia.  Setiap hari ia disuruh mencuci 4 buah mobil, membersihkan 3 buah rumah, dan wajib bangun pada jam 3 subuh.

Mencuci mobil pun ia diminta harus menggunakan tangan sendiri tanpa alat memadai. Ada satu buah mobil truk besar yang harus dicucinya dengan cara naik turun dan cukup rentan terjatuih dari kap mobil.  

Setelah mencuci mobil, ia juga wajib membersihkan rumah kediaman ibu majikannya laki-laki, dan rumah ibu majikannya yang perempuan. Di hari Minggu, ia wajib ke rumah ibu majikannya yang laki-laki.

“Alhamdulillah keluarga kaya tapi punya hati. Namun di rumah bos wanita, tiap hari diberi makan nasi dari kulkas dipadu lauk ayam yang sudah dimasak berminggu-minggu. Dicampur pake tangan majikan, lalu diberikan ke saya. Tempat makan saya itu bagusan punya anjing,” ungkapnya.

Ia menuturkan, ibu majikan perempuannya hanya memandangnya rendah sebagai Pembantu. Dibandingkan dengan perlakuan ibu majikannya yang lekai-laki, ia diperlakukan lebih baik. Saat makan pun bisa semeja seperti keluarga. Sebelum kerja ia mengaku diberi minuman energi Milo dan sepotong roti.

Kalau di rumah sebelumnya, ia diperlakukan keras dan tidak dikasih makan sebelum pekerjaannya dianggap selesai.

Warni juga mengaku sedih saat hari raya Idul Fitri, ia tidak tidak tahu karena disibukan pekerjaannya dan tidak mengenal waktu dan hari. “Saat ada yang mengucapkan selamat hari raya, saya malah balik bertanya hari raya apa kepada yang mengucapkan selamat. Karena saya tidak sadar bahwa saat itu sedang hari raya Idul Fitri,” ungkapnya lagi. 

Setelah sekitar 18 bulan bekerja, ia akhirnya diperkenankan pulang. Dan itu karena adik Warni berkunjung dan meminta kakanya diperbolehkan pulang ke Indonesia. “Namun saya disuruh datang ke rumah bos. Di situ saya disuruh melayani nafsu bejat karyawan agency dengan ancaman. Orang agency ini juga yang pernah memperkosa saya sebelumnya, saat pertama kali tiba,” ujarnya.  

Sebelum memperkosanya, terman Warni dan istri majikannya disuruh ke pasar agar tidak ada saksi yang mengetahui ia diperkosa. Keesokan harinya Warni dibelikan tiket pesawat. Ia menceritakan, adiknya membawa dia ke Kuala Lumpur dan membuat dokumen palsu agar ia bisa kerja dan dapat gaji.

Setelah mengumpulkan uang untuk kembali ke Indonesia, Warni pun mencari jalur untuk kembali ke Indonesia lewat Johor (Pasir Gudang) dengan naik tongkang kecil yang berisi hanya untuk 6 orang.

Ia dan dua orang lainnya naik kapal ikan tadi dan disuruh tiduran agar tidak kelihatan petugas polisi Malaysia. Ia dan dua orang lainnya dibawa dengan kapal kecil itu dan di tengah laut ada penampungan terapung untuk menunggu jemputan lain.

Setelah itu mereka diminta bayar lagi dan dinaikan ke speedboot kapasitas 45 orang. Namun di dalamnya terdapat banyak orang atau lebih dari kapasitas 45 orang, sampai seluruh penumpang pun kesulitan bernafas saking terlalu berdempetan.

Karena kapal berukuran kecil, ketika ada kapal lain lewat, air akan masuk ke dalam kapal yang mereka tumpangi. “Kami hanya bisa pasrah kepada yang Maha Kuasa. Dan di tengah laut itu pun seluruh penumpang diminta membayar uang kemanan. Kemudian kapal berangkat dan tiba di Kota Batam dan lagi-lagi penumpangnya harus membayar tambahan biaya.

Warnni mengaku, tiba di kampung halamannya usai melewati perjalanan panjangnya yang memilukan dengan sisa uang tidak sampai 2 juta rupiah. Ia berharap tidak ada korban calon PMI yang mengalami nasib buruk yang seperti yang dialaminya sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), kerja melampaui batas, kerja berat yang seharusnya dikerjakan 3 orang, diperkosa, dan diperlakukan tidak manusiawi.  ***