Seminar Nasional Polemik Tata Tertib DPR Untuk Evaluasi Kewenangan DPR

Seminar Nasional Polemik Tata Tertib DPR Untuk Evaluasi Kewenangan DPR

GUETILANG, Jakarta - Seminar Nasional ini diselenggarakan Kerjasama Fakultas Hukum Universitas Nasional dengan PUS D KON (Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi) dan Kliendi Law Indonesia Tanggal 20 Februari 2025 di ruang seminar lantai 3 Menara UNAS Jalan Harsono RM, Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.

 

Kegiatan tersebut dalam rangka untuk mengkaji apakah Peraturan DPR tentang Tata Tertib yang didalamnya memuat aturan tentang kewenangan DPR untuk melakukan evaluasi secara berkala terhadap pejabat negara sesuai dengan kewenangan DPR sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau justru sebaliknya tidak sesuai baik dari segi praktek mengacu pada paham trias politika, politik, maupun hirarki perundang-undangan.

 

Seminar ini dibuka oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, SH., MS. Dalam sambutannya Dekan mengemukakan pentingnya mengkaji tema seminar ini terkait dengan Polemik Tata Tertib DPR karena beberapa waktu belakangan masalah ini sangat mendapatkan perhatian publik di Indonesia.

 

Sementara Laksma TNI (Purn) Joko Sulistiyanto, SH., MH., selaku Direktur Pus D Kon (Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi) mengatakan bahwa Pus D Kon merupakan lembaga yang sangat ekspert untuk melaksanakan berbagai kajian terkait isu-isu demokrasi dan konstitusi termasuk yang sekarang dikaji dalam seminar ini. Seminar ini diikuti oleh 105 peserta yang terdiri dari mahasiswa, dosen, pengamat dan praktisi.

 

Dalam seminar ini menampilkan 4 orang narasumber yang ekspert dibidangnya masing-masing, yaitu Laksda TNI (Purn) Dr. Wahyu Mujiono, SH., MH., Founder Pus D Kon (Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi) dan Pengamat Militer, Selamat Ginting, Analis Politik, wartawan senior dan akademisi, Dr. Mustakim, SH., MH., CCD., CMC., akademisi dan ahli perundang-undangan dan Fouder Kliendi Law Indonesia, serta Dr. Hamrin, SH., MH., M.Si. (Han)., akademisi, pengamat Hukum Tata Negara serta pengurus Pus D Kon (Pusat Kajian Demokrasi dan Konstitusi).

 

Dalam paparannya Laksda TNI (Purn) Dr. Wahyu Mujiono, SH., MH., mengemukakan bahwa terkait dengan polemik Tatib DPR yang saat ini terjadi sebenarnya DPR hanya melakukan evaluasi terhadap pejabat pemerintah misalnya pada saat rapat kerja dengan pemerintah sebagai mitra DPR dan ini sudah dilakukan secara kontinu.

 

Sehingga DPR tidak bisa memberhentikan pejabat negara walaupun pejabat negara tersebut dalam pengangkatannya melalui fit and proper test oleh DPR. Misalnya terkait dengan pengangkatan Panglima TNI, Presiden selaku Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan mengajukan satu calon Panglima TNI untuk dilaksanakan fit and proper test sebelum dilantik oleh Presiden selaku Kepala Negara.

 

Jadi berdasarkan UUD-NRI Tahun 1945 keberadaan Presiden sebagai Kepala Negara tidak bisa diintervensi oleh lembaga negara di bawahnya. Oleh karenanya, terkait dengan polemik Peraturan DPR tentang  Tata Tertib DPR, Wahyu Mujiono juga mengatakan bahwa Peraturan tersebut tidak termasuk dalam hirarki Peraturan Perundang Undangan sebagaimana diatur oleh UU RI Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang Undangan dan hanya merupakan peraturan yang mengatur dan mengikat kedalam anggota DPR RI , yang bisa jadi juga sebagai sarana komunikasi politik internal saja.

 

Kemudian Selamat Ginting menyampaikan sejarah pernah mencatat bahwa parlemen pernah ikut campur dalam pengangkatan Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun 1952 yang pada saat itu mengakibatkan ketidakstabilan politik pemerintahan, fakta sejarah tersebut tidak boleh terulang lagi saat ini.

Terkait dengan polemik Tatib DPR saat ini hanya gimik politik saja karena saat ini 80% anggota DPR adalah koalisi pemerintah, jadi ada upaya DPR untuk mencampuri kewenangan lembaga negara lain dalam melaksanakan kewenangannya, sehingga dapat dikatakan kalau DPR saat ini sedang mengarah ke otoritarian parlemen sehingga ikut cawe-cawe dalam evaluasi pejabat negara.

 

Terkait dengan Tatib DPR yang sudah disahkan maka dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung atau dibatalkan oleh DPR itu sendiri.

 

Dr. Mustakim, SH., MH., CCD., CMC., mengemukakan bahwa yang menjadi masalah dalam Tata tertib DPR adalah frasa hasil evaluasi mengikat karena harus ditindaklanjuti, padahal fungsi pengawasan DPR adalah telah diberikan oleh Undang-Undang yang melekat hak Interpelasi, Hak Angket dan Hak Menyatakan Pendapat.

 

Disamping itu Tatib DPR hanya bersifat internal yang keberlakuannya untuk internal DPR, tetapi kalau digunakan untuk mencampuri lembaga negara lain maka hal ini akan menjadi masalah. Sebenarnya tugas DPR hanya sampai fit and proper test dan memberikan persetujuan.

 

Berkaitan dengan kewenangan DPR dalam kaitan penerbitan Tatib DPR merupakan delegasi dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan itu dipertegas Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan dan perubahannya.

 

Dalam undang-undang tersebut juga diatur tentang hirarki peraturan perundang-undangan, jadi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

 

Sementara Dr. Hamrin, SH., MH., M.Si. (Han)., menyatakan bahwa terkait dengan kewenangan DPR bila dikaitkan dengan teori trias politika jangan sampai kemudian tumpang tindih kewenangan dengan lembaga negara lain agar tidak terjadi konflik kewenangan.

 

Sehinngga kedudukan dan kewenangan lembaga negara harus dilaksanakan sesuai dengan teori trias politika, agar antar lembaga negara tidak mencampuri kekuasaan dan kewenangan lembaga negara lain, karena bila antar lembaga negara mencampuri kekuasaan dan kewenangan lembaga negara yang lainnya maka akan terjadi konflik antar kewenangan lembaga negara.

 

Jadi teori trias politika tujuannya adalah agar terwujud checks and balances antar kekuasaan negara dimana mengharuskan kekuasaan negara saling mengontrol dan menjaga keseimbangan kekuasaan negara lain sehingga tidak ada konflik kewenangan antara kekuasaan negara.

 

Berkaitan dengan polemik tata tertib DPR, diharap DPR dapat memperhatikan aspirasi masyarakat untuk mengkaji kembali sebagai bentuk partisipasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang, hal ini dimaksud supaya tidak menimbulkan kekeliruan dalam praktek penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang tidak sesuai dengan UUD-NRI tahun 1945 dan Pancasila sebagai landasan ideologi bagi bangsa dan negara Indonesia. (Juenda)